I. Pendahuluan
Tapanuli
sebagai kampung halaman suku Batak memiliki berbagai cerita rakyat sebagaimana
cerita rakyat yang dimiliki suku-suku lain di Indonesia. Berbagai peristiwa dalam kehidupan, secara
tidak langsung dapat menjadi sebuah bentuk cerita yang disampaikan secara
lisan, baik dari orang tua kepada anak atau pun dari satu kampung ke kampung
yang lain.
Faktor alam
atau lingkungan merupakan salah satu penyebab terbentuknya suatu model atau
gaya dari suatu daerah, begitu pula yang dialami oleh orang Batak. Faktor alam
mereka mempengaruhi gaya hidup dan juga bentuk kepercayaannya. Cerita-cerita
yang terus diwarisi dari generasi ke generasi merupakan cara untuk tetap
menjaga tradisi dan juga supaya tidak punahnya sejarah kehidupan bangsa
tersebut.
Legenda-legenda
yang merupakan bentuk dari cerita kehidupan masyarakat menjadi suatu pedoman
untuk mengatur atau mengarahkan kehidupan untuk lebih baik. Legenda-legenda
masyarakat sungguh banyak, misalnya Legenda Batu Gantung, Legenda Tunggal
Panaluan, Legenda Danau Toba, Asal Mula Orang Batak, Legenda Sigalegale dan
lain sebagainya. Kesemuanya itu adalah cerita-cerita yang mempengaruhi
kehidupan orang Batak dalam kebudayaan dan kepercayaan mereka. Untuk hal itulah
maka kami dari kelompok akan menyajikan salah satu legenda Batak yang
mempengaruhi sistem kehidupan kebudayaan dan kepercayaan orang Batak. Ada pun
legenda yang kami akan ceritakan adalah legenda Sigalegale yang memiliki makna
budaya dan kepercayaan masyarakat Batak seluruhnya terkhusus masyarakat Batak
di Toba.
II. Cerita
Sigalegale
Pada masa yang
silam, apabila seorang terkemuka meninggal sebelum mempunyai anak sebagai
penyambung keturunan, dianggap merupakan kesialan. Untuk mencegah supaya
nestapa seperti itu tidak berulang kembali, maka diadakanlah tarian duka
menggunakan boneka dari kayu.
Boneka
tersebut bentuknya seperti manusia, kepalanya dilumuri dengan kuning telur.
Giginya dicat hitam menggunakan jelaga baja, pada lekuk mata dilekatkan buah
berwarna merah. Boneka diberi pakaian ulos Batak, di atas kepalanya dilekatkan
rambut kuda atau ijuk, atau diberi ikat kepala. Selanjutnya boneka diletakkan
di atas papan beroda, lalu ditarik berkeliling kampung. Kaum kerabat memeluk
boneka sambil menangis tersedu-sedu, sebagai tanda perpisahan untuk selamanya.
Jika boneka duka diarak di kala terang bulan, akan membawa suatu perasaan pilu
dan mengharukan. Pada malam terakhir acara tari-tari duka itu, boneka dibawa
keluar kampung, lalu dicampakkan ke Danau Toba, maksudnya supaya di masa yang
akan datang, tidak berulang lagi nasib seperti yang dialami oleh keluarga yang
malang itu.
Sigalegale
adalah sebuah patung yang terbuat dari kayu. Konon, kayu yang digunakan untuk
membuat patung tersebut adalah “Hau Pokki” (Kayu Pokki). Di daerah Kalimantan,
kayu tersebut dikenal dengan sebutan “Kayu Ulin” (Kayu Besi). Berdasarkan
informasi yang ada, pada tahun 1980-an, Sigalegale dimainkan dengan diiringi
Gondang Hasapi (Alat musik yang menggunakan alat musik kecapi, dan dalam
memainkan Gondang Kecapi ini sangat diperlukan unsur perasaan. Alasannya adalah
karena Gondang Kecapi ini terkesan lebih syahdu dan lembut) dan bukan Gondang
Bolon (Alat musik yang tidak menggunakan alat musik kecapi) dan tidak lagi
mengandung unsur mistis. (Dulu, pada waktu Dr. I. L. Nommensen datang ke tanah
Batak, Gondang Bolon tersebut adalah salah satu kebudayaan yang sangat
ditentang oleh Nommensen dari sekian banyak kebudayaan lainnya, karena dulu
pemakaian Godang Bolon tersebut identik dengan magis atau mistik). Pertunjukan
Sigalegale pun sudah menggunakan tali yang kemudian ditarik oleh dua orang
dalang dan lima orang pemain musik.
Seiring dengan
majunya zaman, apalagi di zaman sekarang ini, maka dengan sendirinya pemikiran
manusia pun akan berubah, terutama dalam hal kebudayaan. Akhirnya, keinginan masyarakat
untuk menyaksikan pertunjukan Sigalegale pun semakin berkurang dan dalang yang
memainkan Sigalegale ini pun berkurang menjadi satu orang dan alat musik yag
digunakan pun menjadi alat musik yang sudah dikasetkan.
Tidak ada
sumber yang pasti untuk legenda Sigalegale ini. Banyak versi yang beredar untuk
menceritakan legenda tersebut. Namun semuanya itu mengandung makna dan pesan
yang sama. Untuk itu kami memilih beberapa cerita yang memiliki cerita yang
memiliki kesamaan dan juga lebih menyentuh kepada kepercayaan dan kebatinan.
Menurut cerita
dari bapak Jimmy Sigiro seorang dalang patung Sigalegale asal mula boneka duka
(Sigalegale) itu adalah sebagai berikut:
Sekitar ± 300
tahun yang lalu, seorang keturunan si Raja Batak yaitu Raja Rahat yang konon
adalah seorang raja yang kaya dan memiliki banyak tanah yang berada ± 50 Km
dari Tomok, di sekitar pegunungan Desa Lumban Suhi (saat ini kerajaan itu sudah
tidak terlihat lagi). Si Raja Rahat hanya memiliki satu orang anak saja yaitu
si Raja Manggele. Pada usianya yang menjelang dewasa, ± 15 – 16 tahun, si Raja
Rahat memerintah si Raja Manggele untuk memperluas daerah kekuasaannya, yang
mana dalam hal itu mereka harus berperang. Menurut cerita, si Raja Manggele
adalah seorang anak yang patuh kepada orang tuanya, sehingga dia pun
menyanggupi perintah ayahnya tersebut.
Kemudian ia
bergegas pergi ke daerah yang hendak dikuasai, bersama dengan prajurit-prajurit
ayahnya. Melihat semangat si Raja Manggele, si Raja Rahat sangat senang melihat
anaknya dan ia sangat mengasihi si Raja Manggele. Namun, kebahagiaan dan
kesenangan itu tidak bertahan lama. Dalam peperangan itu Raja Manggele terkena
musibah. Ia terkena panah sehingga terluka cukup parah. Pada saat itu, Raja
Manggele masih sempat bertahan dan masih sempat diobati oleh “datu-datu
(Dukun)”. Namun sangat disayangkan, usaha para datu tersebut ternyata sia-sia.
Mereka tidak mampu untuk mengobati luka yang dideritanya, sehingga si Raja
Manggele pun meninggal. Berita kematian Raja Manggele itu tersiar ke seluruh
lapisan masyarakat. Kemudian sampailah kabar ini kepada si Raja Rahat dan ia
pun sangat terkejut dan sangat menyesal karena telah menyuruh anaknya untuk
ikut berperang. Setiap hari si Raja Rahat hanya bisa menangis. Ia prustasi dan
bahkan kelihatan layaknya seperti orang gila. Si Raja Rahat menyalahkan dirinya
karena ia yang telah mengakibatkan semua itu. Setiap hari si Raja Rahat hanya
bisa meratap dan terdiam mengingat kejadian itu.
Pada saat itu
sistem kehidupan masyarakat adalah apabila seorang raja mengalami musibah maka
dengan sendirinya, masyarakat pun ikut sedih. Di kemudian hari, datanglah
seorang datu kehadapan si Raja Rahat. Dia mencoba menghibur raja dengan mengusulkan
untuk membuatkan baginya sebuah patung yang konon akan dibuat menyerupai wajah
Raja Manggele, anaknya. Raja setuju dan proses pembuatan pun dilakukan. Namun
datu itu tidak berhasil karena dia tidak memiliki kekuatan naturalis yang cukup
untuk membuat patung itu. Akhirnya, ia mengumpulkan datu-datu besar sebanyak
enam orang. (Menurut cerita dari Bapak Jimmy Sigiro, salah satu dari para datu
yang membuat patung tersebut adalah marga Sinaga yang sampai saat ini masih
hidup). Dengan ilmu kebatinan yang mereka miliki, mereka mencoba memahat kayu
dan membuatnya persis menyerupai si Raja Manggele. Konon para datu tersebut
tidaklah mengenal si Raja Manggele, namun dengan ilmu kebatinan yang mereka
miliki, mereka mampu membuat sebuah boneka manusia yang terbuat dari kayu yang
mirip dengan si Raja Manggele. Kemudian patung si Raja Manggele itu dipakaikan
ulos serta tali pengikat kepala dengan tiga macam warna yaitu merah, hitam dan
putih.
Setelah
semuanya siap, kemudian patung si Raja Manggele tersebut dimasukkan kedalam
peti. Hal itu dilakukan untuk masuk kedalam tahap berikutnya yaitu untuk
menghidupkan patung itu. Ketujuh datu dengan bantuan pemain musik “Gondang
Bolon” memanggil jiwa si Raja Manggele untuk merasuki patung tersebut.
Kemudian, patung itu dapat bangkit dari peti itu dan patung tersebut mampu
untuk menggerak-gerakkan badannya layaknya manusia (manortor). Gondang yang
dipakai untuk memulainya adalah dimulai dari “Gondang Mulamula” sampai dengan
“Gondang Hasahatan”. Melihat keberhasilan itu, akhirnya mereka berembuk untuk
mempertunjukkan patung tersebut di hadapan si Raja Rahat. Kemudian mereka pun
pergi ke halaman rumah si Raja Rahat dan mereka pun mulai membangunkan patung
tersebut dengan bantuan alat musik Gondang Bolon. Di saat si Raja Rahat
mendengar suara gondang tersebut, ia keluar dan turun ke halaman rumahnya untuk
melihat apa yang sedang terjadi. Setelah melihat patung tersebut bisa
“manortor” dan menyerupai anaknya si Raja Manggele, si Raja Rahat sangat senang
melihat hal tersebut dan ia pun mulai tersenyum bahagia karena ia masih bisa
merasakan anaknya seolah-olah hidup kembali. Oleh karena hal itu si Raja Rahat
pun kemudian mengucapkan terimakasih kepada para datu yang telah berhasil
membuat patung yang menyerupai anaknya itu. Si Raja Rahat pun menyimpan patung
itu di dalam rumahnya. Sesekali, jika Raja rindu dengan anaknya si Raja
Manggele, ia kembali memanggil ketujuh datu itu untuk mempertunjukkan dan
mempertontonkannya di tengah-tengah masyarakat. Dengan melihat patung itu dapat
“manortor” dengan lemah gemulai mengikuti irama gondang yang dimainkan oleh
para datu, patung itu pun berubah nama yang dulunya adalah si Raja Manggele,
kemudian diberi nama “Sigalegale”.
Sedangkan
versi dari buku Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu mengisahkan
ceritanya adalah sebagai berikut.
Di dalam
sebuah kampung di Toba, terjadi duka yang sangat dalam karena putra, tunggal
seorang pemimpin yang terpandang meninggal dunia. Ayahnya sangat terpukul,
karena tidak ada lagi anaknya yang akan meneruskan keturunan. Bagi orang Batak
yang menganut paham patriarchal, kematian anak laki-laki satu-satunya itu
berarti punahnya sebuah cabang keluarga. Si ayah sangat sedih dan sangat rindu
kepada anaknya yang sudah meninggal, siang dan malam dia mengharapkan kalau
saja dapat menatap wajah anaknya barang sekali saja. Pada suatu hari dia
mengambil sepotong kayu dan mengukir patung manusia, bentuk dan corak wajahnya
sangat menyerupai anaknya. Untuk mengenang putranya yang berumur pendek itu, ia
menggerak-gerakkan boneka kayu tersebut sebagaimana ia pernah lakukan ketika
anaknya masih hidup. Setiap bulan purnama menampakkan diri dan bintang-bintang
bertaburan di langit, si ayah duduk di depan rumah dikelilingi oleh penduduk
kampung. Dia menarik-narik lengan dan anggota tubuh boneka kayunya, sehingga
kelihatan seperti orang yang sedang menari-nari. Semua yang hadir merasa iba
dan turut bersedih hati. Para pria terenyak menyaksikan hal tersebut tanpa
mengucapkan sepatah kata karena turut bersedih., Ibu-ibu sambil duduk ikut
menangis tersedu-sedu, karena anak tunggal itu telah pergi dan tidak akan
pernah kembali lagi.
Tarian boneka
duka itu berlanjut terus dari waktu ke waktu, dan ditiru oleh orang-orang yang
mengalami penderitaan yang sama seperti si ayah, suatu cara melampiaskan
kerinduan kepada putranya yang sudah tiada.
Semakin lama
boneka duka semakin disempurnakan, wajahnya diperindah, tariannya juga dibuat
bertambah gemulai. Tarian boneka duka semakin bertambah lentik tak ubahnya
seperti kupu-kupu yang sedang mengibas-ngibaskan sayapnya, dan boneka itu
diberi nama Sigalegale (gale artinya lemah, tetapi dapat juga diartikan
lentur-gemulai, karena jari-jarinya bergerak cekatan seperti penari serimpi).
Lama kelamaan
Sigalegale tidak berfungsi hanya sebagai pelipur lara mengenang anak yang sudah
tiada, tetapi juga berfungsi untuk menangkal malapetaka dan mengusir hal-hal
yang buruk (papurpur sapata).
Sigalegale
yang terbuat dari patung kayu, menggambarkan seorang manusia lengkap dengan
tangan dan kaki yang dapat digerak-gerakkan. la berdiri di atas sebilah papan
kayu yang mempunyai roda, sehingga dapat ditarik maju-mundur. Kepala boneka
tersebut juga terbuat dari kayu (bentuknya tidak begitu halus), tetapi matanya
dari logam (seng). Wajahnya dibungkus dengan kapur putih yang dilumuri dengan
kuning telur bercampur kunyit. Di atas kepalanya dililitkan sejenis ulos, yang
disebut tali-tali. Leher patung yang bentuknya seperti alu, dimasukkan ke dalam
sebuah tiang atau pasak yang sudah diberi lubang, sehingga leher dan kepala
dapat berputar ke segala arah. Pada badan boneka diikatkan dua tangan dari kayu
berwarna cokelat tua; siku dan pangkal bahu dapat digerak-gerakkan ke atas
maupun ke bawah, demikian juga jari-jarinya sangat lentur bila menari. Seorang
pemegang tali kendali, duduk di belakang Sigalegale; dengan piawainya dia dapat
menggerak-gerakkan seluruh tubuh boneka tersebut mulai dari kepala, tangan dan
bahu.
Orang Batak
yang animis percaya, orang yang meninggal tanpa keturunan akan masuk ke dalam
Banua Toru bersama begu (roh jahat) yang derajatnya paling rendah. Mereka tidak
diberi nama. Di alam begu, derajat seorang roh sangat tergantung pada jenis dan
banyaknya sesajen yang dipersembahkan keturunan atau keluarga kepadanya. Jika
tidak ada keturunan yang mempersembahkan sesajen atau kurban kepada orang yang
meninggal, maka derajatnya di dunia roh dianggap rendah dan tidak mungkin
melebihi roh-roh lain. Akibatnya dia akan disamakan dengan roh jahat yang
hina-dina. Supaya roh tersebut tidak sakit hati dan menaruh dendam kepada
keluarganya yang tidak mempersembahkan kurban secara rutin, keluarganya
berusaha memperdaya roh jahat. Diciptakan sebuah boneka kayu yang diberi peran
sebagai anak kandung almarhum. Di atas mata boneka tersebut, ditempelkan lumut
berisi air dan jika ditekan akan mengeluarkan air, seakan-akan air matanya
jatuh bercucuran. Patung kayu itu dibuat seakan-akan dia adalah anak kandung
almarhum yang sedang meratapi ayahnya. Dia menari dengan menggerakkan
jari-jarinya yang lemah gemulai sehingga roh jahat terkecoh, dan mengira bahwa
yang menari tersebut adalah anak almarhum. Selama acara kematian, boneka itu
menari terus, maksudnya untuk memberi kedamaian kepada roh orang yang
meninggal.
Jika seorang
pria meninggal sebelum berumah tangga, berarti tidak mempunyai anak yang akan
melanjutkan keturunannya. Di dunia roh dia akan dihina bahkan dikucilkan dari
lingkungannya karena dianggap roh yang tidak berguna. Untuk menghiburnya supaya
merasa aman dan damai, keluarga terdekat menempatkan sebuah joro (rumah tradisional
dalam bentuk mini) di atas kuburannya. Pada joro itu digantungkan berbagai
persembahan dan sesajen serta barang yang biasa dipakai almarhum sewaktu masih
hidup. Lebih kurang dua bulan setelah kematian pria tersebut, diadakan pesta
tarian Sigalegale di kampung. Semua keluarga dan sanak saudara serta seisi
kampung diundang turut serta. Tamu-tamu disuguhi jamuan makan dan tuak yang
berlimpah. Pesta itu berlangsung selama satu minggu, diiringi gondang Batak
(orkes Batak). Sigalegale menari tiada henti-hentinya, di siang hari di bawah
pohon hariara, di malam hari di udara terbuka diterangi bintang di langit. Pada
hari terakhir tuan rumah membagi-bagikan daging kepada semua yang hadir.
Sementara itu kepada Sigalegale dikenakan pakaian adat yang indah bertatakan
perhiasan. Di pelataran kampung, Sigalegale menari terus diikuti “suhut (tuan
rumah)”, beserta keluarga dan sanak saudara. Di penghujung acara semua yang
hadir berpawai menuju kuburan, di barisan paling depan terlihat Sigalegale
beserta joronya digotong beramai-ramai. Setelah tiba di makam, dipanjatkan doa
takzim (tonggo-tonggo) memohon kepada roh leluhur supaya tidak terulang lagi
nasib sial, meninggal sebelum memperoleh keturunan. Setelah selesai melakukan
tugasnya, orang yang mengendalikan Sigalegale, bergegas pergi ke luar kampung;
di sanalah dia mengasingkan diri selama satu malam. Tak seorang pun berani
menampungnya di kampung, karena dianggap masih dirasuki oleh roh-roh orang mati
yang belum puas dengan acara pesta kematian. Di kesunyian malam, roh-roh itu
meninggalkannya tergeletak sendirian di lapangan terbuka.
III. Penutup
Perlu kita
ketahui bahwa masyarakat Batak sangat kaya akan kebudayaan. Salah satunya
adalah kebudayaan berupa legenda atau mitos. Legenda merupakan suatu cerita
dari generasi ke generasi suatu bangsa atau suku, khususya masyarakat Batak.
Legenda Sigalegale merupakan suatu warisan yang sangat berharga bagi orang
Batak, karena dalam legenda tersebut tersimpan suatu bentuk kehidupan
orang-orang Batak pada masa dulu dan tentunya masih memberi makna pada
kehidupan sekarang dan akan datang.
Sigalegale
yang pada saat ini menjadi sumber objek wisata di Tomok sesungguhnya dulu
adalah suatu patung yang memiliki kesan magis dimana dalam pembuatannya itu
digabungkan kekuatan batin tujuh orang dukun ternama pada masa itu sehingga
patung itu dapat bergerak sendiri. Patung tersebut memberikan suatu pesan
kehidupan yang menjunjung tinggi silsilah atau garis keturunan keluarga. Begitu
besarnya kedudukan laki-laki dalam orang Batak sehingga patung Sigalegale
tercipta sebagai ungkapan kesedihan yang mendalam dari keluarga yang kehilangan
garis keturunannya.
Begitu juga
dengan unsur-unsur yang digunakan untuk membuat sebuah patung. Bagi orang
Batak, misalnya “kuning telur”, mempunyai arti tersendiri bagi orang Batak
yaitu sebagai simbol kehidupan dan unsur kuning telur menunjukkan raut wajah
yang cerah dan lebih hidup. Begitu juga dengan warna “putih, merah dan hitam”.
Bagi orang Batak, warna-warna tersebut mempunyai arti tersendiri.
Ada
umpama/umpasa orang Batak mengatakan: “Ompu Raja di jolo martungkot sialagundi;
Angka na uli tinonahon ni angka ompunta na parjolo, siihuthonon ni hita angka
na di pudi”. Maka dengan itu, kita sebagai orang Batak, hendaknya ikut berperan
serta dalam melestarikan budaya kita dan menjunjung tinggi kebudayaan kita,
karena hal itu sangatlah berharga bagi kita. Satu hal lagi umpama/umpasa orang
Batak mengatakan: “Sinuan bulu, sibahen na las; Sinuan adat dohot uhum, sibahen
na horas”. Dari umpama/umpasa tersebut kita bisa mengetahui bahwa,
legenda-legenda atau mitos-mitos yang ada dalam orang Batak mempunyai tujuan
yang baik bagi kita semua.
****** H O R A
S ******
Sumber:
Bisuk Siahaan,
BATAK TOBA: Kehidupan di Balik Tembok Bambu, Jakarta: Kempala Foundation, 2005
Wawancara:
Jimmy Sigiro
(Ama Senton) adalah salah seorang yang memainkan patung sigalegale. Istrinya
boru Sidabutar yang merupakan keturunan ketujuh belas dari Raja Sidabutar